
Alfatihah.com – Di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Jawa, perhitungan weton atau hari lahir sering digunakan untuk menentukan hari baik dalam melakukan berbagai aktivitas, seperti pernikahan, usaha, atau acara besar lainnya. Tradisi ini sudah ada sejak lama dan menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat. Namun, bagaimana pandangan islam tentang menghitung hari baik berdasarkan weton ini? Apakah sesuai dengan ajaran agama? Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Weton adalah sistem penanggalan dalam budaya Jawa yang menggabungkan kalender pasaran (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) dan tanggal dalam kalender Jawa. Setiap orang memiliki weton berdasarkan hari dan tanggal lahirnya. Dalam tradisi Jawa, ini sering digunakan untuk berbagai perhitungan, mulai dari kecocokan jodoh hingga penentuan hari baik untuk melangsungkan pernikahan atau membangun rumah.
Di dalam masyarakat Jawa, ada yang meyakini bahwa setiap weton memiliki karakteristik dan pengaruh tertentu terhadap kehidupan seseorang. Oleh karena itu, perhitungannya selalu digunakan untuk menentukan waktu yang tepat untuk berbagai aktivitas penting, dengan tujuan agar berjalan lancar dan sukses.
Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah ditentukan oleh Allah melalui takdir-Nya. Oleh karena itu, setiap kejadian, termasuk hari baik atau buruk, adalah bagian dari takdir yang sudah Allah gariskan. Dalam islam, tidak ada yang namanya “hari baik” atau “hari sial” yang berdasarkan perhitungan tertentu, seperti halnya yang diajarkan dalam budaya Jawa dengan menggunakan weton.
Dalam QS. Luqman ayat 34, Allah berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗ عِلْمُ السَّاعَةِۚ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْاَرْحَامِۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌࣖ
Artinya : “Sesungguhnya Allah memiliki pengetahuan tentang hari Kiamat, menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia kerjakan besok. (Begitu pula,) tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Ayat ini mengingatkan kita bahwa hanya Allah yang mengetahui apa yang akan terjadi dalam hidup kita. Tidak ada kekuatan lain yang dapat menentukan nasib atau hari baik seseorang, selain takdir Allah.
Jika dilihat dari sudut pandang syariat islam, kepercayaan untuk menghitung hari baik berdasarkan weton bisa dipandang sebagai bentuk kemusyrikan jika seseorang meyakini bahwa hal tersebut memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan mereka, seperti menentukan nasib, jodoh, atau rezeki. Dalam islam, Allah lah yang mengatur segala sesuatu, bukan benda atau perhitungan apapun, termasuk weton. Islam mengajarkan agar umatnya tidak bergantung pada hal-hal yang bersifat gaib dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
“Siapa yang datang kepada dukun atau peramal dan mempercayai apa yang dikatakan, maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.” (HR. Abu Dawud)
Hal ini menunjukkan bahwa umat islam sebaiknya tidak mempercayai ramalan atau perhitungan berdasarkan sistem apapun yang bisa mengarahkan pada kepercayaan terhadap kekuatan selain Allah.
Menggunakan weton untuk menentukan hari baik, selama tidak berlebihan dan tidak mengarah pada perasaan bahwa nasib kita ditentukan oleh weton, tidak secara langsung bertentangan dengan ajaran islam. Namun, jika seseorang mulai menggantungkan harapannya pada perhitungan ini dan merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya dipengaruhi oleh weton, maka hal ini bisa menjadi berbahaya dan mendekati syirik. Islam mengajarkan agar kita tetap berusaha dan berdoa, namun menyerahkan hasilnya hanya kepada Allah. Tawakal kepada Allah adalah hal yang harus dilakukan setelah melakukan usaha terbaik kita.
Sebagai umat islam, kita harus berhati-hati dalam mengikuti tradisi yang dapat mengarah pada kepercayaan yang bertentangan dengan akidah islam. Kita boleh mengikuti budaya atau tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat, namun kita harus selalu ingat bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita adalah kehendak Allah.
Baca Juga : Strategi Dakwah Sunan Kalijaga dalam Menyebarkan Islam di Jawa