Apakah Tahlilan Bid’ah? Berikut ini Kejelasan Hukumnya!

ALFATIHAH.COMPembahasan bid’ah sering menjadi suatu perbincangan hangat dari dulu hingga sekarang.  Terlebih di Indonesia, banyak hal yang baru dilakukan dan tidak ada pada zaman Nabi contohnya seperti budaya tahlilan yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Bid’ah menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu bada’a yang berarti memulai sesuatu tanpa ada sebelumnya atau menurut  Abu al-Husain bin Faris bin Zakriya ialah sesuatu yang baru diadakan.

Para ahlul bid’ah sering menggaungkan hadist nabi yang berbunyi : 

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ

Artinya “Semua bid’ah itu sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.

Padahal pada kenyataannya agama Islam pada zaman sahabat pun sudah melakukan hal-hal yang tidak ada pada zaman nabi, seperti tarawih berjamaah, pembukuan hadist, dan lain-lain. 

Menilik suatu kebiasaan yang dilakukan pada masyarakat Indonesia yaitu tahlilan, pada ahlul bid’ah seakan-akan mencela perbuatan tahlilan tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh nabi dan mencap perbuatan tersebut adalah sesat. 

Kitab Ar-risalatul Muawanah menjelaskan terdapat 2 bid’ah yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah mazmumah.

Bid’ah hasanah ialah suatu hal yang baru dan tidak ada di zaman nabi tetapi hal tersebut baik dilakukan dan tidak keluar dari syariat Islam.

Sedangkan, bid’ah mazmumah kebalikan dari bid’ah hasanah.

Hukum Tahlilan

Hukum tahlilan memang tidak ada pada zaman nabi, namun adanya tahlilan merupakan akulturasi budaya pada masyarakat Indonesia saat itu.

Dimana masyarakat Indonesia sangat kuat menggunakan adat istiadat. Adat istiadat tersebut dianggap kurang baik oleh para wali songo yang kala itu berdakwah di daerah Jawa.

Maka, mereka pun menggunakan akulturasi tersebut agar dakwahnya berhasil dan tahlilan tidak dibuang begitu saja serta tetap dilakukan tetapi tidak menghilangkan syariat ajaran agama Islam.

Maka dari itu, sebagai seorang muslim haruslah menggali ilmu sedalam mungkin khususnya dalam menafsirkan Alquran dan hadist apalagi mengkafir-kafirkan orang yang melakukan tahlilan.

Karena kedua sumber tersebut perlu adanya penafsiran bukan hanya konteks terjemahannya saja. 

Oleh karenanya, kita harus melihat dari berbagai Prespektif dan jangan mencela satu sama lain. Karena apa yang dilakukan tentu memiliki tujuan dan dalilnya. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Chat WhatsApp
Hubungi Kami