Bolehkah Hukumnya Mentayamumkan Jenazah? Ini Alasan dan Ketentuannya!

Alfatihah.com – Ada empat kewajiban orang hidup atas orang yang meninggal, yaitu memandikan, mengafani, menshalati, dan menguburkan. Namun pada prakteknya ada keadaan tertentu, dimana ada ketentuan khusus bagi jenazah yang akan dikuburkan. Jika salah satu syarat wajib merawat jenazah adalah memandikan, apakah boleh hukumnya mentayamumkan jenazah? Apa saja ketentuan atau syarat dalam mentayamumkan jenazah? Yuk, simak artikel berikut untuk mengetahui ketentuan mentayamumkan jenazah!

Hak orang meninggal yang menjadi kewajiban bagi orang yang masih hidup ada 4 hal, yaitu memandikan jenazah, mangafani, menshalati, dan juga menguburkan. Namun, pada kenyataannya ada beberapa keadaan yang menyebabkan 4 hal tersebut tidak harus dipenuhi. Misalnya, jenazah janin keguguran, jenazah orang kecelakaan, jenazah orang yang ihram, jenazah orang yang mati syahid. Sehingga kewajiban memandikan bisa diganti dengan mentayamumkan jenazah.

Lalu, Apa Hukumnya Mentayamumkan Jenazah?

Dilansir dari nu.or.id ada ketentuan dalam merawat jenazah janin keguguran, jenazah orang kecelakaan, jenazah orang yang ihram, juga jenazah orang yang mati syahid. 

Jenazah Janin Keguguran

Untuk jenazah janin berbeda cara merawatnya dengan jenazah orang dewasa, sebagaimana berikut:

  • Janin yang keguguran dan masih berupa gumpalan darah dan gumpalan daging, sunnah dikuburkan, tidak wajib dibungkus, tidak wajib dimandikan, tidak wajib dishalatkan.      
  • Jika sang janin yang keguguran sebelumnya tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat ada tanda-tanda kehidupan, tidak pula tampak rupa dan kesempurnaan fisiknya, maka ia tidak wajib dimandikan dan tidak wajib dishalatkan. Namun, sunah dibungkus dengan kain dan wajib dikuburkan.  
  • Jika sang janin yang keguguran tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat tanda-tanda hidup, namun tampak rupa dan kesempurnan fisiknya, terlebih usianya di atas empat bulan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dan dikuburkan, namun tidak wajib dishalatkan.   
  • Jika janin yang keguguran sebelumnya terlihat hidup, tampak pula tanda-tanda kehidupannya, seperti menangis, bergerak, menjerit, menggigil, dan sebagainya, sesaat setelah dilahirkan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, layaknya orang dewasa, walaupun saat keguguran usianya masih di bawah empat bulan, sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Nawawi. 

Jenazah Orang yang Kecelakaan

Orang yang mengalami kecelakaan seperti tertabrak atau terbakar, yang menyebabkan beberapa anggota tubuhnya hancur atau melepuh. Maka, tidak perlu dimandikan, melainkan cukup dengan penggantinya, yaitu mentayamumkan jenazah, atau jika masih ada bagian tubuh yang memungkinkan untuk terkena air, maka bagian tubuh tersebut dimandikan dengan air sedangkan sebagian lain yang tidak memungkinkan untuk terkena air, maka ditayamumkan sebagaimana layaknya tayamum.

Sama halnya dengan jenazah orang yang kecelakaan atau terbakar adalah jenazah perempuan yang tidak ada yang bisa memandikan kecuali laki-laki non-mahram. Maka jenazah tersebut tidak perlu dimandikan dengan air, tetapi cukup ditayamumkan saja dengan menggunakan kain penghalang. Demikian seperti yang disebutkan oleh Syekh Nawawi:

  أحدها غسله أي أو بدله وهو التيمم كما لو أحرق بالنار وكان بحيث غسل تهرى وكما لم يوجد إلا أجنبي في المرأة أو أجنبية في الرجل فتيمم الميت فيهما بحائل  

Artinya, “Kefarduan pertama atas jenazah adalah memandikan atau penggantinya, yakni mentayamumkan. Keadaan mentayamumkan jenazah seperti halnya ia terbakar api, sehingga jika dimandikan dengan air akan melepuh. Atau tidak ada siapa-siapa yang dapat memandikan jenazah perempuan kecuali laki-laki non-mahram dan tidak ada siapa-siapa yang dapat memandikan jenazah laki-laki kecuali perempuan non-mahram. Maka dalam dua keadaan itu, jenazah cukup ditayamumkan dengan menggunakan kain penghalang.” (Lihat: Kasyifatus Saja Syarh Safinatin-Naja, halaman 94). 

Jenazah Orang yang Ihram

Ketika mengkafani jenazah orang yang ihram ada perlakuan khusus bagi jenazah. Ketentuannya yaitu kepalanya tidak boleh ditutup bagi jenazah laki-laki, sedangkan bagi jenazah perempuan maka wajahnya yang tidak ditutup. Kemudian saat mengkafani dan memandikan jenazah tidak boleh menggunakan wewangian. Tujuannya agar tetap mempertahankan bekas ihram, sebab manasik tidak batal karena kematian. Demikian seperti yang difatwakan oleh Syekh Nawawi.   

 أما المحرم الذكر فلا يلبس محيطا ولا يستر رأسه والمرأة والخنثى لا يستر وجههما ولا كفاهما بقفازين ويحرم أيضا أن يقرب لهم طيب ككفور وحنوط في أبدانهم وأكفانهم و ماء غسلهم إبقاء لأثر الإحرام لأن النسك لا يبطل بالموت  

Artinya, “Adapun jenazah orang ihram laki-laki tidak boleh memakai kain yang dijahit. Tidak boleh pula ditutupi kepalanya. Sementara jika jenazahnya perempuan atau banci maka yang tidak ditutupi adalah wajahnya. Hanya hanya tidak cukup untuk keduanya hanya menggunakan kain sarung. Pun haram hukumnya mendekatkan wewangian kepada jenazah mereka, seperti kapur dan kamper pada badan, kain kafan, dan air mandi mereka. Tujuannya untuk mempertahankan bekas ihram. Sebab, manasik tidak batal dengan kematian.” (Lihat: Kasyifatus Saja Syarh Safinatun-Naja, halaman 94). 

Jenazah Orang yang Syahid

Ketika merawat jenazah orang yang syahid tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dishalatkan, bahkan kain kafannya pun disunnahkan menggunakan pakaian yang dipakai saat gugur meskipun yang dipakai berupa sutra. Jadi, ketika akan dikafani, pakaian jenazah hanya dilapisi dengan kain kafan. Alhasil, hanya ada dua kewajiban atas jenazah yang syahid yaitu mengkafani dan menguburkan.

أما الشهيد فيحرم غسله والصلاة عليه ويسن دفعنه في ثيابه فقط ولو من حرير بعد نزعها من عقب موته وعودها إليه عند التكفين  

Artinya, “Adapun jenazah orang yang syahid haram dimandikan dan dishalatkan. Bahkan, sunnahnya dikuburkan dengan pakaian saat meninggalnya saja, meskipun pakaiannya berupa sutera setelah dilepas saat meninggal dan dikembalikan lagi kepadanya ketika membungkus.” (Lihat: Kasyifatus Saja Syarh Safinatin-Naja, halaman 94). 

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui tentang hukum mentayamumkan jenazah. Jadi, boleh hukumnya mentayamumkan jenazah ketika pada ketentuan tertentu, misalnya jenazah orang yang kecelakaan. 

Baca Juga: Keistimewaan Membantu Orang Lain, Lebih Baik dari I’tikaf di Masjid Selama Satu Bulan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kamu harus baca
Chat WhatsApp
WhatsApp