Hukum Islam Tentang Voucher Cashback di Marketplace, Kamu Wajib Paham!

Alfatihah.com – Kemudahan berbelanja secara daring saat ini semakin menarik dengan banyaknya voucher yang ditawarkan oleh marketplace. Mulai dari tawaran voucher diskon, gratis ongkir (ongkos kirim), pay later, hingga tawaran voucher cash back. Dari semua kemudahan dan fitur yang menarik tersebut, bagaimana ya hukum islam tentang voucher cashback yang menggiurkan untuk terus menerus berbelanja di marketplace? Ini dia penjelasan hukum cashback dalam islam!

  1. Konsep Cashback

Kajian fiqih muamalah maliyah, menyebut istilah cashback sebagai dha’wa ta’ajjal yang berarti menyegerakan waktu pelunasan maka akan diberi potongan. Kondisi tersebut kemudian dilihat sebagai kesepakatan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk mengurangi nilai utang, ketika gharim (debitur) bisa melunasi lebih cepat.

Sementara konsep cashback dalam marketplace sejatinya tak jauh berbeda, karena ketika pelunasan produk yang dibeli dilakukaan saat itu juga atau dibayar langsung dengan saldo yang dimiliki maka voucher cashback akan muncul. Di sisi lain, saat ini beberapa marketplace memasang pengaturan khusus untuk pengguna muslim yang tidak ingin menggunakan voucher cashback hingga pay later untuk menghindari transaksi yang diharamkan.

  1. Perbedaan Pendapat Ulama

Ada perbedaan pendapat soal hukum islam tentang voucher cashback atau masalah konsep cashback atau dha’wa ta’ajjal atau kesekapakan memberikan potongan karena pelunasan pembayaran lebih cepat.

Pertama, kesepakatan ini dilarang

Pendapat jumhur ulama melarangnya, bahkan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syaf’i, dan pendapat Imam Ahmad. Pertimbangannya hukum islam tentang voucher cashback didasarkan pada bentuk transaksi yang tidak berbeda dengan menambah nilai utang karena ada penundaan dan ulama sepakat menambah nilai utang karena penundaan hukumnya haram. Sebagai gambaran, kamu bisa membayangkan ada seorang bernama a yang membeli barang x pada b dengan harga 100 ribu secara kredit selama 1 bulan. Si b menjanjikan jika a bisa melunasi dalam waktu 1 pekan, maka ada cashback 50 ribu.

Menurut pendapat jumhur ulama hakikat dari transaksi yang terjadi pada a yang mebeli barang x dengan harga berbeda untuk waktu cicilan yang berbeda adalah haram. Bayangkan saja jika harga barang x dicicil selama 1 bulan adalah 100 ribu dan jika dilunasi dalam 1 pekan harga menjadi 50 ribu. Jadi, selisih 50 ribu yang menjadi pengganti waktu 2 pekan lainnya sebanyak 50 ribu itu adalah haram. 

Menurut ulama Imam Hambali, percepatan maupun keterlambatan cicilan tidak boleh digantikan dengan uang (dijual). Ibnu Rusyd, Malikiyah, menyimpulkan Ta’lil ini (alasan yang menunjukkan hukum) dalam pernyataanya bahwa inti alasan ulama melarang dha’wa ta’ajjal sebab ini serupa dengan tambahan karena penundaan yang disepakati haramnya. Sisi miripnya dalam kesepakatan ini adalah pelaku akad menetapkan adanya bayaran untuk waktu pelunasan cicilan. (Bidayatul Mujtahid, 2/144)

Ulama Hanafiyah dalam Al Inayah dalam Syarh Al hidayah menyatakan bahwa perutangan yang disegerakan lebih baik daripada yang tertunda dan potongan itu tidak akan didapatkan seketika saat melakukan akad. Hal tersebut sebanding dengan potongan harga yang dia berikan kepadanya dan itu sebagai pengganti dari penundaan bayaran, dan hal tersebut adalah haram. (Al Inayah Syarh Hidayah, 12/94)

Ulama Syafi’iyah dalam Mughni Al Muhtaj menyatakan ketika orang membuat kesepakatan harga 10 dirham kredit dan ada potongan 5 dirham jika lunas cepat maka kesepakatan ini tidak berlaku sebab pelunasan tidak sah untuk digantikan. Sementara 5 dirham ditinggalkan penjual sebagai ganti dari pelunasan itu, sehingga jika tidak terjadi pelunasan lebih cepat penjual tidak akan memberikan potongan. (Mughni Al Muhtaj, 3/165)

Hal yang sama juga disampaikan dalam mahzab Hambali dan ta’lil semacam ini menjadi alasan untuk melarang adanya cashback atau hukum islam tentang voucher cashback yang disepakati di awal. Dalam Al Mubdi Syarh Al Muqni menyatakan ketika orang membuat kesepakatan potongan sebagian harga karena pelunasan, kesepkatan ini tidak sah. Sebagaimana keterangan sekelompok ulama karena penjual memberi potongan sebagai ganti dari percepatan pelunasan utang yang menjadi tanggungannya. Sementara menjual percepatan atau penundaan utang tidak dibolehkan. (Al Mubdi, 4/163)

Kedua, kesepakatan ini dibolehkan

Hal ini merupakan pendapat imam Ahmad yang menyampaikan pandangan hukum islam tentang voucher cashback atau konsep cashback dalam salah satu riwayat Ibnul Qayim dan Syaikhul Islam Ibnul Taimiyah. Ibnul Qoyim menyebutkan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Zufar dari Hanafiyah. Dinyatakan dalam Al Ikhtiyarat boleh membuat kesepaktan potongan pembayaran pembayaran cicilan yang dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat dan satu keterangan dari Imam As Syafi’i. (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah, 1/478)

Alasan Ibnul Qoyim yang membolehkan hukum islam tentang voucher cashback ini karena kespekatan ini kebalikan dari riba. Dalam transaksi riba, waktu pelunasannya ditambah dan nilai utang dinaikkan. Ibnul Qoyim pun mengomentari ta’lil yang disampaikan jumhur ulama karena kesepakatan ini merupakan kebalikan dari riba. Dalam transaksi riba menurutnya ada tambahan pembayaran sebagai ganti dari penundaaan. Sementara kesepakatan ini bentuknya mengurangi beban pembayaran sebagai ganti dari pengurangan waktu pelunasan. Beliau melanjutkan, bahwa dengan kondisi tersebut masing-maisng pihak mendapat manfaat dan di sana tidak ada riba, baik secara hakiki, bahasa, maupun urf. Karena riba itu tambahan dan di sini tidak ada.

Ketiga, ketentuan ini dibolehkan khusus untuk akad Mukatabah, sementara untuk akad yang lain tidak dibolehkan. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah dalam salah satu riwayat.

Akad Mukatabah adalah menjanjikan budak untuk merdeka jika bisa membayar sekian dinar selama rentang waktu sekian. Dianjurkan jika bisa melunasi lebih cepat untuk diberi potongan, karena berarti menyegarkan pembebasan budak yang itu dianjurkan. (I’lamul Muwaqqi’in, 3/359)

  1. Tarjih

Beberapa lembaga fatwa kontemporer seperti Lajnah Daimah, Baitut Tamwil kuwait, dan Majma’ Al Fiqh Al Islami yang merupakan konferensi Fiqih di bawah Al Muktamar Al Islami pada mukmatar ke-7 ahun 1412 menyatakan hukum islam tentang voucher cashback bahwa mereka membolehkan kesepakatan adanya potongan karena percepatan pelunasan ciclan (dha’wa ta’ajjal). Pertimbangan terbesarnya adalah bahwa dalam kesepakatan ini tidak ada riba sama sekali. Justru ini kebalikan dari riba, sehingga hukum asalnya boleh.

Setelah semua pendapat tadi diurai, ternyata ada ulama dari beberapa mahzahb yang membolehkan dan sebagian lain melarang penggunaan voucher cashback atau konsep cashback itu sendiri. Namun, setelah diulas hingga akhir hukum islam tentang voucher cashback atau konsep cashback menurut Ibnu Qoyim asalnya boleh karena tidak ada penambahan seperti konsep riba. Kalau sudah tahu begini, kira-kira kamu masih mau pakai voucher cashback atau tidak nih?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kamu harus baca
Chat WhatsApp
WhatsApp