Berkenalan dengan Spiritual Thinking Sebagai Level Berpikir Tertinggi

Alfatihah.com – Seorang muslim sejak awal sudah diajarkan untuk berpikir, terutama dalam menerima ajaran hingga syariat Islam. Dalam memahami ajaran dan perintah dinul islam, seorang muslim seharusnya memahami bahwa keyakinan ini adalah soal cara pandang dan pola pikir. 

Kekhasan cara berpikir seorang muslim menjadikan pemaknaan seorang muslim berbeda dengan peradaban manapun. Hal inilah yang harus disadari semua muslim dan diyakini bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh. Lalu, bagaimanakah sebenarnya spiritual thinking bisa menjadi model berpikir tertinggi dari model berpikir lainnya? Simak penjelasan berikut ini!

Model berpikir peradaban Barat

Umumnya, kita mengenal model berpikir yang terdiri dari tiga model, yaitu concreate thinking, sense perception, dan intellectual thinking. Ketiga model berpikir tersebut berasal dari peradaban Barat yang sejak dulu sudah jauh dari agama, sehingga konsep spiritual thinking yang Islam bawa menjadi sebuah hal yang berbeda sekaligus menjadi pembeda. Hal inilah yang menjadi pembeda dari cara berpikir orang-orang yang hidup di bawah peradaban Barat dengan kaum muslimin. 

Concreate thinking adalah model berpikir yang kongkrit dan sederhana, contohnya adalah simpulan manusia tentang keindahan bunga. Keindahan bunga hanya berhenti sampai pada apa yang dilihat saja, tanpa mengaitkan dengan hal lainnya. Sementara sense perception adalah model berpikir yang sudah melibatkan perasaan atau persepsi pribadi atas apa yang dihadapi, sehingga segala fungsi indra secara bersamaan berfungsi dan bisa menghasilkan ide.

Terakhir, Intellectual thinking adalah konsep berpikir yang sudah lebih rumit dan masuk pada spektrum yang lebih abstrak. Contohnya, adalah seorang sufi yang bisa berpikir secara kontradiktif dan tidak bisa dinalar, tetapi hal tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan berpikir, tetapi karena salahnya simpulan nalar pikir. Kesalahan itu terjadi, karena mekanisme berpikir peradaban Barat yang terbatas pada yang kongkrit saja atau sesuatu yang bisa diindera, juga pada yang hanya dapat dinalar.

Batasan berpikir sesuai peradaban Barat ini adalah hasil dari batasan yang mereka buat sendiri, bahwa apa yang disebut ril, neraca yang dibuat terbatas pada benda yang bersifat inderawi dan menyentuh pengalaman manusia. Hal inilah yang membuat peradaban Barat menunjukkan pembatasan pada fakultas dan kemampuan manusia pada dua hal, yaitu sense dan intellectual.

Posisi Spiritual Thinking sebagai Level berpikir tertinggi

Dalam Islam konsep berpikir secara Spiritual Thinking merupakan sebuah model berpikir yang paling tinggi. Hal tersebut terjadi, karena spiritual thinking adalah model berpikir dengan spirit not by intellect. Spiritual thinking juga merupakan fase tertinggi yang merupakan lanjutan jadi model intellectual thinking, dimana dalam berpikir secara spiritual logika menjadi berubah.

Contohnya adalah bagaimana Ibnu Arabi dalam karyanya yang memiliki sebuah pernyataan yang terkesan kontradiktif atau berseberangan. Contohnya “aku di sini, sekaligus di sana”, “saya ada sekaligus tidak ada”, dll. Pernyataan tersebut dalam tahap intellectual thinking merupakan hal yang berseberangan, tetapi dalam konsep spiritual thinking hal tersebut merupakan kesatuan dan hanya bisa dipahami dengan cara pandang spiritual.

Dalam peradaban Barat, konsep spiritual thinking membuat seseorang terbatasi cara pandangnya, sebab hanya akan sampai pada level intellectual saja. Sementara Islam mengajak manusia untuk melihat lebih luas dari pada yang bisa didindera saja. Batasan tersebut membuat apa yang seharusnya bisa didapat menjadi terhijab padahal realitas adalah ketika sesuatu tersingkap seperti seharusnya. Maka, realitas yang beragam berupa empiris dan non empiris secara otomatis menghendaki model beprikir yang beragam, termasuk spiritual thinking. Konsep kontradiktif ini sebenarnya sudah dilakukan oleh para Sufi, termasuk juga oleh filsuf bernama Hegel. Hegel melakukan sebuah pendekatan menarik dengan tesis-antitesis-sintesis. Titik tekannya, bahwa dua hal yang kontradiktif bisa disatukan dan muaranya akan menghasilkan sesuatu yang baru.

Konsep kontradikif yang bisa menyatukan dua hal juga dijelaskan oleh Said Nursi dalam beberapa penjelasannya di Rasail Nur. Bagi Nursi, gambaran itu bisa didapat lewat bagaimana Alquran terlihat. Dalam penjelasan Said Nursi Alquran kata-katanya bersifat kongkrit, tetapi makna di dalamnya sangat abstrak sehingga Alquran bersifat sangat spiritual. Di sisi lain Said Nursi mengibaratkan realitas spiritual seperti udara yang posisinya sangat krusial. Manusia menjadi tidak bisa hidup tanpa udara dalam beberapa detik saja, meski bisa menahan lapar dan haus dalam beberapa hari. Hal tersebut menjadikan Said Nursi memandang bahwa spiritual thinking bukan saja mungkin bagi manusia, tetapi mungkin. 

Mengutip garis besar seminar internasional bertajuk “Said Nursi’s Legacies for the 21st Century Muslim World” yang diselenggarakan leh INSIST bekerjasama dengan Yayasan Semesta pada 15 Juli 2019 yang diisi oleh Prof. Dr. Alparslan Acikgenc dan Prod. Dr. Ahmed Kayacik, bahwa sejatinya titik lebih epistimologi Islam membawa Islam mampu menyentuh hal-hal yang tidak disentuh oleh tradisi dan peradaban Barat. Epistimologi Islam juga membawa manusia menjadi makhluk spiritual atau “the natural spiritual human being”. Epistimologi islam tidak saja memaksimalkan daya indra, intelek akal juga pengalaman, tetapi lebih dari itu epistimologi Islam juga memaksimalkan daya juang yang lain, yaitu qalb (heart), sebuah fakultas spiritual yang dimiliki setiap individu dari manusia. Wallahu’alam.

Baca Juga: Memfoto Orang Lain Secara Diam-Diam Apakah Dibolehkan? Ternyata Ini Jawabannya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kamu harus baca
Chat WhatsApp
WhatsApp