Alfatihah.com – Mungkin kita sudah tidak asing dengan kalimat “Toleransi antar umat beragama”. Tapi, apakah kita sudah bisa mewujudkan sikap toleransi yang sesuai dengan teladan Rasulullah?? yukk simak penjelasannya di bawah ini!
Toleransi atau as-samahah (arab) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama diantara kelompok masyarakat yang berbeda-beda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Oleh karena itu toleransi merupakan konsep yang bagus dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama termasuk agama islam.
Menurut ajaran Islam, sikap toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka sikap toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam.
Al-Qur’an dalam surah Al-Mumtahanah [60] ayat 8 secara tegas menganjurkan umat Muslim untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang berbeda agama, selama mereka tidak memerangi atau mengusir umat Islam dari negeri mereka. Ayat ini berlaku untuk semua orang, termasuk orang Yahudi, Kristen, Buddha, Zoroaster, Ateis, dan Hindu.
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama, bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalah contoh populer dari toleransi dalam islam. Fakta-fakta historis itu menunjukan bahwa masalah sikap toleransi dalam islam bukanlah konsep asing atau ghorib.
Toleransi adalah bagian integral dari islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga pada akhirnya menjadi praktik kesejahteraan dalam masyarakat islam.
Sikap kasih sayang, keadilan, dan etika dalam berinteraksi dengan orang kafir adalah prinsip-prinsip yang sangat ditekankan dalam agama Islam. Terlebih dalam dunia yang semakin global, pemahaman yang lebih baik tentang pesan ini dapat membantu mempromosikan kedamaian, toleransi, dan pemahaman antarumat beragama. Hal ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW sendiri, yang selalu berbuat baik kepada tetangganya, bahkan kepada tetangganya yang non-Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang sangat toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktekkannya secara konsisten.
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial).
Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Sikap toleransi dan menghargai tidak hanya berlaku terhadap orang lain, tetapi juga kepada diri sendiri, bahkan sikap toleran harus dimulai dari diri sendiri. Rasulullah saw mengingatkan agar ia memperhatikan dirinya dan memberi hak yang proporsional:
“sesungguhnya tubuhmu punya hak (untuk kamu istirahatkan) matamu punya hak (untuk dipejamkan) dan istrimu juga punya hak (untuk dinafkahkan)”. (HR. Bukhori).
Baca Juga: Inilah 5 Adab dalam Memberi Nasihat, Salah Satunya Tidak Dilakukan di Depan Umum