Mengenal Sejarah Penguburan Bayi Perempuan Sebelum Adanya Hukum Islam

Alfatihah.com – Sejarah penguburan bayi perempuan di kalangan masyarakat jahiliyah menjadi topik yang kerap dibahas dalam khazanah keislaman, mereka terkenal sebagai kaum yang memiliki intelektual tinggi dan kerap memunculkan penyair-penyair berbakat dari keturunannya. Meski demikian, kaum Arab jahiliyyah tak segan mengubur hidup-hidup keturunannya yang berjenis kelamin perempuan. Sejarah penguburan bayi perempuan merupakan sebuah tindakan yang mengindikasikan tingkat kerendahan moral bangsa Arab yang saat itu masih berada pada lembah jahiliyah.

Mengutip dari laman NU ONLINE, pembuangan atau penguburan bayi perempuan dilatarbelakangi oleh rasa malu yang dirasakan masyarakat jahiliyah. Mereka meyakini bahwa anak perempuan tidak terlalu berguna dan lebih sering membawa sial bagi keluarganya. Keadaan ini berbanding terbalik dengan sikap mereka yang amat bangga jika memiliki anak laki-laki, setelah kedatangan Islam, tradisi tidak manusiawi ini pun perlahan luntur.

Sejarah Penguburan Bayi Perempuan oleh Masyarakat Jahiliyyah

Sejarah penguburan bayi perempuan ini terdapat pada kitab seorang ulama bernama Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 852 H), dalam kitab tersebut beliau mengisahkan sejarah penguburan bayi perempuan di kalangan masyarakat jahiliyyah yang pertama kali terjadi. Orang pertama yang mencontohkan tindakan ini ialah  Qais bin Ashim Ath Tamimi:

                                                                                                          أَوَّلُ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ قَيْسُ بْنُ عَاصِم التَّمِيْمِي

Artinya:“Orang pertama yang melakukan itu (mengubur anak wanita hidup-hidup) adalah Qais bin Ashim at-Tamimi.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1379], juz X, halaman 406).

Sebagaimana dipaparkan pada laman NU ONLINE, kisah Qais inilah yang menjadi awal mula penguburan bayi perempuan secara turun-temurun. Qais bin Ashim Ath Tamimi dikisahkan memiliki seorang anak perempuan yang menjadi tawanan perang oleh Iraq.

Sebelumnya terlebih dahulu terjadi perang antara Iraq (yang dipimpin oleh Nu’man bin Mundzir) dengan sejumlah wilayah yang menjadi musuh-musuhnya. Salah satu musuh Iraq ialah suku Tamim, yang mana Qais termasuk bagian dari suku tersebut. Singkat cerita, Iraq berhasil memenangkan peperangan dan sukses menawan sejumlah wanita dari daerah musuh. 

Tak terima putri-putri mereka ditawan, sejumlah pembesar dari suku Tamim memohon pada Iraq untuk membebaskan tawanan perempuan dari suku mereka. Sayang, pembebasan itu tak lagi mudah,   karena beberapa wanita yang ditawan sudah menikah dengan pemuda-pemuda Iraq. Persoalan anak perempuan inilah yang nantinya menjadi sejarah penguburan bayi perempuan.

Menyikapi persoalan tersebut, Nu’man bin Mundzir selaku pimpinan Iraq memberi kebebasan pada wanita-wanita tawanannya untuk memilih antara ayah dan suami mereka. Apabila mereka memilih ayahnya sudah sepantasnya mereka bercerai dengan sang suami. Di lain sisi jika mereka memilih suaminya, wanita-wanita yang ditawan oleh Iraq mau tidak mau harus memutuskan hubungan keluarga dengan ayah kandungnya.

Qais bin Ashim Ath Tamimi sebagai salah satu pembesar suku Tamim rela menurunkan egonya dan bersedia memohon pada pihak musuh untuk membebaskan anak perempuannya. Alih-alih mendapatkan putrinya kembali, ia justru mendapat kekecewaan atas tindakan yang dilakukan sang putri yang ia bela dengan sepenuh hati. Putri Qais lebih memilih suaminya dan memutus hubungan keluarga dengan Qais. 

Kekecewaan Qais pada sang putri menjadi huru-hara tersendiri, ia yang sakit hati menjadi manusia gelap mata dan bertekad untuk membunuh bayi perempuan dari keturunannya. Adapun bayi perempuan yang ingin dibunuh adalah yang lahir setelah kejadian tersebut. Tindakan tersebut pun diikuti oleh suku tamim dan suku-suku lain secara turun-temurun.

ثم حصل بينهم صلح فخير ابنته فاختارت زوجها فآلى قيس على نفسه أن لا تولد له بنت إلا دفنها حية فتبعه العرب في ذلك

Artinya, “Kemudian setelah terjadi perdamaian antara Bani Tamim dan penguasa Iraq, ia mempersilahkan untuk memilih, kemudian putrinya lebih memilih suaminya, sehingga (pilihan itu) membuat marah Qais, bahkan ia berjanji pada dirinya untuk tidak melahirkan anak perempuan kecuali akan menguburnya hidup-hidup. Kejadian ini terus diikuti oleh orang-orang Arab.” (Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, 10/406).

Pudarnya Tradisi Penguburan Bayi Perempuan

Kejadian penguburan bayi-bayi perempun di kalangan masyarakat jahiliyyah mulai pudar setelah datangnya ajaran Rasulullah SAW. Ajaran yang dibawa Rasulullah secara tegas mengecam tindakan keji penguburan bayi perempuan, sekalipun alasannya takut kekurangan rezeki.

                                                                وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (QS Al-Isra’, [17]: 31).

Itu dia sejarah penguburan bayi perempuan di kalangan masyarakat jahiliyyah. Kini, kejadian seperti itu sudah tidak ada lagi, karena Islam yang begitu memuliakan kedudukan wanita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Chat WhatsApp
Hubungi Kami