Kita mengenal bahwa hal atau benda yang ditunjukkan pada orang lain tanpa ada perintah atau pertanyaan dari orang tersebut dimaknai sebagai ria. Pamer, adalah istilah lain yang mudah dan sering dikaitkan dengan upaya menunjukkan kelebihan atau kebaikan dirinya di hadapan orang lain. Ria juga sering dikaitkan dengan upaya untuk mendapat pengakuan dari orang lain atau pujian dari mereka.
Di sisi lain, ternyata ada loh hal-hal tertentu yang sebagian orang menilainya sebagai perilaku pamer (ria), padahal hal-hal tersebut bukanlah bagian dari ria. Lalu, apa sajakah hal yang bukan termasuk ria? Ini dia penjelasan 5 hal yang bukan termasuk ria!
Mendapat pujian setelah melakukan kebaikan adalah hal pertama yang tidak termasuk ria. Ketika seseorang melakukan kebaikan dan setelah itu dia menerima pujian dari orang lain, maka hal itu bukan termasuk ria selama dia ikhlas dalam melakukan kebaikan tersebut. Meski tidak termasuk ria, alangkah baik jika kamu tetep berhati-hati dengan pujian, karena biasanya pujian itu melenakan atau melalaikan diri dan hati untuk ikhlas dalam melakukan segala sesuatu. Jangan lupa juga untuk terus berdoa dan meminta perlindungan Allah agar doa atau hal yang disangkakan oleh orang lain itu tidak sepenuhnya benar, karena kamu hanya mengharap dan berdoa pada Allah agar dibeirkan hal yang lebih baik dari apa-apa yang disangkakan oleh orang yang memuji.
Dalam sebuah hadist dikisahkan ada orang yang sering dipuji oleh manusia, sehingga terkesan bahwa orang tersebut ria padahal tidak. “Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Bagaimana seseorang yang beribadah atau berbuat suatu kebaikan, lalu dipuji oleh manusia?’ Rasulullah menjawab, ‘Itu adalah kabar gembira bagi seorang mukmin yang dipercepat oleh Allah.‘” (H.R. Muslim)
Sesungguhnya bentuk kabar gembira pada seorang mukmin adalah pujian baik yang diberikan oleh orang lain padanya. Persaksian mereka melihat dirimu sbeagai golongan orang baik adalah alasan menngapa kamu memperoleh pujian. (Fatawa nur ‘Ala Ad-Darb, hal. 111) Abu Bakar juga pernah merasakan mendapat pujian dari orang lain karena kebaikan yang dia lakukan, tetapi lihatlah dalam hadist ini apa yang dia lakukan tatkala mendapat pujian itu dia berdoa “Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri. Dan aku lebih mengetahui keadaan diriku dairpada mereka yang memujiku. YaAllah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan. Ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku. Dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.” (H.R. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4: 228) Jadi, dapat disimpulkan bahwa apabila kamu menerima pujian dari orang lain karena perbuatan atau aktivitas baikmu yang tidak ditunda-tunda, luruskan niat agar tetap ikhlas dan berdoalah agar Allah tutupi aibmu dan tinggikan dirimu dari sangkaan orang lain padamu.
Berkumpul bersama orang lain atau sahabat yang bisa menjadi sumber energi untuk melakukan amal salih adalah hal yang bukan termasuk ria berikutnya. Kenyataan bahwa beribadah sendirian jauh lebih susah daripada bersama-sama dalam jamaah atau kelompok adalah alasan mengapa jamaah menjadi penting. Bertemu sahabat yang salih untuk mendapatkan motivasi, kemudian kamu bersemangat setelah itu bukanlah hal yang termasuk ria. Allah berfiman dalam Q.S. At Taubah ayat 119 tentang “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” Nabi juga memberikan nasihat untuk umatnya tentang pentingnya lingkungan yang bisa sangat berpengaruh bagi keimanan seseorang “Seseorang itu mengikuti din (agama dan akhlak) kawan dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan kawan dekat.” (H.R. Abu Dawud No. 4833. Lihat Silsisah Ash-Shahihah No. 927)
Kedua dalil tersebut menjadi landasan mengapa mencari lingkungan yang kondusif untuk terus mengutamakan Allah dan mengikuti jejak orang-orang salih bukanlah sebuah hal yang ria. Tujuan dari mendekat pada orang-orang yang paham terhadap agama Islam dan mengutamakan Rabbnya akan membantumu menjadi seperti mereka secara perlahan. Jadi, jika ada perkatan orang lain yang menilai bahwa apa yang kamu lakukan itu ria, bersabarlah barangkali orang itu belum tahu bahwa berkumpul dengan orang salih bukanlah sebuah hal yang ria, tetapi upaya untuk meningkatkan kualitas diri.
Memperbagus dan memperindah pakaian sering dipahami sebagai upaya pamer atau ria, padahal Islam mengatur kapan saja seorang muslim harus menggunakan pakaian terbaiknya. Selain karena Allah mencitai keindahan seperti yang dijelaskan dalam hadist berikut ini “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Keosmbongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (H.R. Muslim)
Allah memerintahkan seorang muslim untuk menggunakan pakaian terbaiknya, terutama ketika salat dan hal tersebut adalah hal yang bukan termasuk ria. Allah berfirman bahwa “Hai anak Adam, pakailah pakaian yang indah di setiap kali (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al A’raf ayat 31) Dalil tersebut menjadi penguat bahwa seorang muslim memang diajurkan untuk memakai pakaian terbaik, terutama saat salat dan memasuki masjid. Ada juga waktu lainnya yang dianjurkan memakai pakaian terbaik, misalnya saat hari Jumat dan hari raya seperti hari Ied. memakai wangi-wangian, perhiasan, dan bersiwak juga dianjurkan sebagai bentuk penyempurnaan menggunakan pakaian terbaik.
Keburukan atau dosa itu wajib ditutupi, sehingga tidak dibenarkan untuk menceritakan dan menunjukkan maksiat yang pernah kamu lakukan. Allah mengatur hal ini dalam Q.S. An Nur ayat 19 yang berbunyi “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah megetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Oleh karena itu, banyak dari muslim yang berusaha menutupi aib atau kekurangannya dan upaya itu adalah hal yang bukan termasuk ria. Kalaupun ada yang senang menunjukkan aib atau kekuragan, barangkali itu menjadi tugasmu untuk mengingatkan dia agar tidak berlebihan dalam menceritakan kekurangannya.
Ada saja orang-orang dalam hidup yang mendapatkan ketenaran tanpa ia mencarinya. Cerita-cerita tentang mereka tiba-tiba sampai di telinga dan membuat diri bertanya-tanya apa saja yang mereka lakukan sampai banyak orang yang menceritakan dirinya? Padahal hal yang orang itu peroleh sebagai ketenaran bukanlah bentuk ria, jadi jangan berburuk sangka dengan hal tersebut. Hanya saja, jika dia memiliki iman yang lemah saat mendpaat ketenaran, maka dapat dikhawatirkan akan terjerumus dalam fitnah, bahkan kondisinya itu bisa menjadikan amal jariyah atau dosa sebab banyak yang mengidolakannya.
Sebuah hadist menjelaskan bahwa “Barangsiapa mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang melakukannya setelahnya tanpa berkurang sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang buruk, maka ia mennaggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa berkurang sesuatu pun dari dosa-dosa mereka.” (H.R. Muslim) Melalui hadist ini jelaslah bahwa popularitas sebenarnya adalah ujian keimanan dan ujian hati. Selama seseorang bisa menjaga hatinya maka popularitas adalah hal yang bukan termasuk ria. Apabila seorang hamba mampu meluruskan niatnya, maka popularitas yang diperoleh akan digunakan untuk kebaikan dan bukan sebaliknya.
Itulah ulasan dari 5 hal yang bukan termasuk ria. Dari kelima hal yang telah diurai, sebenarnya banyak hal lainnya yang secara kasat mata kita seringkali menilia bahw ahal tersbeut termasuk ria. Padahal, kita tidak bisa menilai hati dan niat seseorang dalam melakukan berbagai hal. Sesungguhnya, Allah melihat hati mereka dalam setiap perbuatan yang dilakukan. Hal itulah yang mendasari apakah seseorang akan terjerumus ria atau tidak.