Hukum Seorang Muslim Membaca Cerita Fiksi, Boleh Tidak Sih? Ini Dia Jawaban Ulama!

Alfatihah.com – Hukum seorang muslim membaca cerita fiksi untuk kepentingan pembelajaran maupun referensi pengetahuan ternyata menimbulkan tanda tanya besar. Muslim memang dianjurkan untuk banyak membaca dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dalam upaya mendapat beragam referensi maupun pengetahuan, sejumlah buku pun akhirnya dibaca, tak terkecuali karya sastra dari peradaban Islam maupun dari berbagai negara.

Sayangnya, fakta yang kita temukan adalah cerita dan kisah yang masuk dalam rak karya sastra merupakan cerita fiksi yang tidak diketahui kebenarannya. Cerita-cerita tersebut merupakan kisah yang dibuat oleh penulisnya dan bukan kisah asli sesuai kenyataan. Meski masih jauh dari kenyataan, tetapi kisah-kisah fiksi tersebut beberapa kali datang dan terinspirasi dari hal-hal yang ada di kehidupan nyata. Lalu, bagaimanakah hukum seorang muslim membaca cerita fiksi? Simak penjelasan berikut ini!

Hukum Asal Membaca Cerita Fiksi

Hukum seorang muslim membaca cerita fiksi didasarkan pada pandangan ulama yang membedakannya menjadi dua jenis cerita fiksi yang ditinjau dari tujuannya.

Jenis pertama, membaca cerita fiksi bertujuan untuk kebaikan. Dalam pandangan pertama ini, hukum seorang muslim membaca cerita fiksi didasarkan pada jenis cerita fiksi yang disampaikan harus dikategorikan sebagai kisah fiksi yang menghadirkan solusi untuk masalah-masalah agama, moral, dan sosial. Tujuan cerita fiksi tersebut adalah untuk menyiarkan, menanamkan, dan menyebarkan kebaikan, serta mempertimbangkan dan melarang kejahatan, kefasikan, dan kerusakan.

Cerita semacam itu tidak mengandung kerusakan dan mendatangkan larangan syariat, seperti kezaliman, permusuhan, mengajak kepada kesyirikan, kekafiran, pengingkaran (terhadap akidah yang benar), pemborosan, hilangnya rasa malu, serta penyimpangan akidah, pemikiran dan akhlak, hingga hal-hal yang merendahkan nilai agama atau moral.

Oleh karena itu, tidak ada larangan membaca cerita yang tidak mengandung hal yang disebutkan sebelumnya. Hal tersebut didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ceritakanlah (riwayat) dari bani israil (tidak mengapa), karena terdapat mukjizat-mukjizat pada mereka. Sejumlah orang dari Bani Israil pergi berjalan di muka bumi sambil berzikir. Kemudian mereka melewati sebuah kuburan. Lalu sebagian dari mereka berkata kepada yang lain, “Mari kita berdoa kepada Allah agar Dia mengeluarkan bagi kita seorang pria dari penghuni kubur ini, agar kita dapat bertanya kepadanya tentang kematian.”

Mereka berdoa, lalu keluarlah seroang pria yang mempunyai tanda-tanda sujud di antara kedua matanya. Dia berkata, “Wahai kaum, apa yang kalian ingin tanyakan kepadaku? Sungguh, kalian telah menempatkan diri dalam suatu urusan yang besar.” Mereka berkata, “Kami berdoa kepada Allah agar Dia mengeluarkan bagi kita seorang pria dari penghuni kubur ini agar kami bisa bertanya kepadanya bagaimana rasanya mati.” Dia berkata, “Aku telah merasakan rasa kematian (Al Rabi’ berkata, “atau panasnya kematian”) selama seratus tahun. Dan kalian berdoa kepada Allah yang Mahaperkasa, sementara Dia telah memberiku istirahat. Maka, berdoalah kepada Allah agar Dia mengembalikanku seperrti semula.” Mereka berdoa kepada Allah, lalu Dia mengembalikannya.

Hadis tersebut menunjukkan bahwa keistimewaan dan keajaiban boleh didengar dan diceritakan secara mutlak. Baik berasal dari imajinasi atau bukan, yaitu ada yang sesuai dengan alam nyata. Tujuan membacanya harus digunakan untuk pengajaran, nasihat untuk berperilaku, media pendidikan, menanamkan kebaikan, memberi contoh akhlak baik, seperti kesabaran, kehormatan, dan keberanian.

Fatwa dari Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika ditanya “Beberapa penulis menyusun cerita-ceita dengan makna dan gaya yang menarik yang dapat berdampak pada jiwa para pembaca. Akan tetapi, cerita-cerita tersebut merupakan khayalan. Bagaimanakah hukumnya?” Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan jawaban “Tidak ada masalah, jika cerita-cerita tersebut dapat menyelesaikan masalah-masalah agama, moral, atau sosial. Karena menggunakan perumpamaan dengan cerita-cerita yang dibuat bukan berdasarkan kenyataan, tidak masalah. Bahkan, beberapa ulama telah menyebutkan hal itu dalam beberapa ayat Alquran yang bukanlah kisah nyata. Namun, Allah menggunakan contoh tersebut sebagai perumpamaan. 

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam fiman-Nya Q.S. An Nahl: 76. Tidak ada masalah dalam hal ini karena tujuannya adalah sebagai peringatan. Akan tetapi, jika seseorang memiliki pengetahuan dari Alquran dan hadis, kemudian menyajikan ayat-ayat yang mengatasi masalah dan menjelaskannya serta menunjukkan contoh-contoh yang relevan, itu adalah hal yang baik. Demikian pula, jika seseorang menyebutkan hadis-hadis dan menjelaskannya serta memberikan contoh-contoh yang relevan, itu tentu lebih baik tanpa ada keraguan.

Jenis kedua, membaca cerita fiksi yang tidak bertujuan syari. Hukum seorang muslim membaca cerita fiksi semacam ini tidak dianjurkan, karena tidak akan mencapai tujuan syar’i, bahkan bertentangan dengan ketentuan syari. Hal ini disebabkan, cerita tersebut bisa membawa konsekuensi kerusakan dan keburukan yang tidak diragukan lagi, membuka peluang imajinasi dan ide buruk kejahatan, memicu dorongan nafsu, mambuka ruang pemaknaan syirik dan pengaruh yang menentang agama.

Kedustaan, fitnah, dan kebohongan dan hal buruk lainnya bisa juga terjadi jika cerita fiksi yang dibaca tidak memberikan hikmah atau pelajaran hidup, bahkan agama. Hal inilah yang dikhawatirkan akan menjadi inspirasi buruk bagi pembacanya dan memahami konsep hukum seorang muslim membaca cerita fiksi menjadi sangat diperlukan. Namun, terdapat perbedaan pendapat dalam pengharaman dan pelarangannya.

Ada hal mendasar yang harus diperhatikan dalam memahami hukum seorang muslim membaca cerita fiksi, yaitu berhati-hati dan meneliti apakah cerita fiksi yang disampaikan memiliki dasar yang jelas atau relevansi dengan kenyataan. Meskipun tujuannya baik, cerita fiksi yang tidak ada manfaat atau hikmah bagi pembaca tetaplah harus dihindari, sebab mengandung hal yang menyimpang, melanggar nash wahyu, hingga membawa pembacanya pada keyakinan yang sesat.

Simpulan 

Simpulannya adalah bahwa hukum seorang muslim membaca cerita fiksi yang mengandung kebohongan, hal-hal yang buruk, hingga hal-hal bohong yang bahkan tidak ada contoh nyatanya di dunia nyata, maka hal tersebut tidak dibolehkan. Sementara hukum seorang muslim membaca cerita fiksi yang masih mengandung kebaikan, bahkan terdapat pesan-pesan agama, bukti kisah di kehidupan nyata, hingga kisah-kisah teladan di masa kenabian, maka hal tersebut masih dibolehkan. Meskipun masih ada beberapa perbedaan pendapat mengenai rincian dan detail tentang hukum seorang muslim membaca cerita fiksi, hal tersebut dikembalikan pada keputusan masing-masing orang sesuai ulama yang dijadikan panutan. Wallahu’alam

Baca Juga: Mengenal Islamophobia: Sebuah Ketakutan Pada Syiar Islam yang Menyerang Berbagai Lini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Chat WhatsApp
Hubungi Kami