Apakah Hadis dan Sunah Merupakan Hal Yang Sama?

Alfatihah.com – Banyak diantara kaum muslimin yang menganggap bahwa hadis dan sunah adalah hal yang sama. Padahal keduanya memiliki perbedaan mendasar yang perlu dipahami sebagai seorang muslim. Proses memahami kedua hal tersebut perlu diupayakan demi mencapai pemahaman yang baik tentang hadis dan sunah. Secara lebih mendalam, perbedaan hadis dan sunah ini akan membantu kamu sebagai seorang muslim untuk mengambil kesimpulan yang adil dan tepat. Lantas, apa saja perbedaan dari hadis dan sunah yang harus kamu ketahui? Simak penjelasan berikut ini!

Definisi Hadis dan Sunah

Sebelum memahami lebih lanjut mengenai perbedaan hadis dan sunah, perlu kamu pahami terlebih dahulu apa itu perbedaan hadis dan sunah. Secara terminologi atau secara istilah hadis artinya khabar atau berita. Secara istilah, hadis bermakna apa saja yang disandarkan pada Nabi baik perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat anggota badan juga akhlaknya.

Hadis harus disandarkan pada Nabi atau mereka yang menyampaikannya secara formal atau ada prasyarat yang tidak bisa ditawar. Formalitas semacam sanad haruslah terdiri dari orang yang kredibel, terpercaya atau tsiqqah. Perawi juga harus terhubung dengan pendahulunya, kemudian dalam proses meriwayatkan hadis tidak boleh ada cacat celah atau ‘illah pada seluruh rantai sanadnya. Apa yang diriwayatkan seorang perawi juga tidak boleh ada kejanggalan atau shadz pada kandungan teks, termasuk matan hadisnya. Sementara sunah adalah amal atau kebiasaan Nabi yang bisa dicontoh, sehingga sudah tidak termasuk berita atau pengabaran.

Perbedaan Hadis dan Sunah

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai perbedaan hadis dan sunah, ada detail yang bisa disimak dalam penjelasan berikut ini tentang perbedaan yang lebih spesifik tentang hadis dan sunah.

Pertama, hadis yang tidak menjadi sunah. Ternyata, ada hadis tertentu yang sama sekali tidak dapat dijadikan sunah, sebab hadis yang menjadi rujukannya adalah hadis yang masuk kategori maudhu’ munkar, bahkan bathil. Derajat hadis menjadi penting disini sebab akan menentukan apakah hadis tersebut menjadi sunah atau tidak. Meski begitu, hadis yang sahih sekalipun tidak mesti akan menjadi sunah, karena ada beberapa hal lain yang melandasinya.

Kedua, hadis diterima, karena kesahihannya, tetapi tidak menjadi sunah. Hal tersebut terjadi karena beberapa hal memang harus dipandang pada tempatnya masing-masing. Contohnya mazhab Syafi’i yang memprioritaskan hadis sahih sebagai landasan sebuah sunah, daripada menyontoh amalan ahlul Madinah. Di sisi lain, hal tersebut berbeda dengan mazhab Maliki yang lebih mempertimbangkan sunah lewat amalan ahlul Madinah daripada keberadaan hadis meski statusnya sudah sahih.

Ketiga, ada sunah yang bukan berasal dari hadis. Poin ketiga ini ada, sebab secara faktual memang ada amalan sunah yang tidak didasari oleh hadis. Dalam Ushul Fiqih ada istilah seperti qiyas, ijma;, istihsan, mashalih musalah, dst. Dimana sunah yang datang dari hal-hal tersebut tidak mensyaratkan hadis sahih. Contohnya, amalan sunah salat Tawarih berjamaah dan azan Jumat dua kali. Dua hal tersebut merupakan amalan sunah yang didasarkan pada amalan sahabat Nabi, bukan pada hadis.

Keempat, sunah yang tidak ada hadisnya. Kategori ini diwakili oleh sunah amaliyah mutsawatirah, yaitu sunah yang diamalkan umat secara turun temurun, contohnya membaca Alquran disertai ilmu tajwid. Hal tersebut meski tidak ada hadis yang melandasinya, tetapi hadir dari guru yang berguru pada guru yang secara turun temurun akan sampai pada imam qiraat dan sahabat Rasulullah. Hal ini berbeda dengan sifat salat Nabi yang jelas ada hadisnya sehingga bisa disandarkan padanya.

Kelima, hadis sahih yang tidak boleh dijadikan sunah sama sekali. Ada hadis sahih yang tidak boleh dijadikan sunah dan hal itu bisa dilihat dari af’al al-jalilah perbuatan bawaaan Rasulullah, seperti cara berjalan, berlenggak-lenggok, cara tertawa, menggaruk-garuk, dll. Bagaimana Nabi bercocok tanam, berobat, mengatur strategi, berperang, menggunakan peralatan pada zamannya. Termasuk amal khusus yang hanya dilakukan Rasulullah seperti menikahi lebih dari empat akhwat, janda istrinya tidak boleh dinikahi, tidak makan harta zakat, tidak pernah menjadi muazin, dll.

Simpulan

Lima kriteria dan penjelasan pengertian hadis dan sunah sebelumnya dapat diambil kesimpulannya, bahwa hadis dan sunah perlu dipahami dengan lebih teliti dan jernih. Hadis merupakan sebuah mekanisme sistemik yang punya tempatnya sendiri. Ada formalitas dan neraca yang tidak bisa diganggu gugat. Sementara sunah juga punya muatan dan karakteristiknya sehingga bila dipahami dengan saksama penyebutan sunah dan tidak sunah harus dicermati lebih dahulu sebelum menyampaikannya. Semoga penjelasan ringkas ini membantumu membedakan karkateristik dan hal detail yang jarang dipahami mengenai perbedaan hadis dan sunah.

Baca Juga: Benarkah Islam Membutuhkan Konsep Feminisme?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Chat WhatsApp
Hubungi Kami