HIjrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah menjadi peristiwa penting dalam sejarah perkembangan Islam. Perjalan hijrah tersebut penuh dengan perjuangan sebab pada masa itu Nabi Muhammad SAW sedang mengalami ancaman yang luar biasa dari kaum kafir Quraisy.
Bahkan sebelum Rasulullah hijrah, kaum Quraisy merencanakan pembunuhan untuk Nabi Muhammad SAW di malam hari saat sedang tertidur lelap. Akhirnya Sayidina Ali bin Abi Thalib pun rela berbaring di tempat tidur Nabi Muhammad SAW demi menggantikan sepupunya yang menjadi sasaran pembunuhan tersebut. Sementara pada malam itu Rasulullah hijrah ke Madinah bersama Sayidina Abu Bakar AS.
Ditemani Abu Bakar, Rasulullah hijrah secara sembunyi sembunyi untuk menghindari musuh yang terus mengintainya. Bahkan riwayat menyebutkan bahwa beliau menetap didadlam Gua Tsur selama tiga hari dengan tujuan untuk mengelabuhi kejaran musuh.
Mengutip dari nuonline.or.id yang diambil dari kutipan buku Fiqhus Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Syekh Said Ramdhan al-Buthi. Sesampainya di gua Tsur, Sayidina Abu Bakar terlebih dahulu untuk memastikan didalam gua tersebut aman agar Rasulullah SAW tetap terjamin keselamatannya. Baik dari potensi bahaya ular, binatang buas, atau bahkan mungkin dari serangan musuh yang sedang bersembunyi didalam gua tersebut.
Alasan hijrahnya Nabi Muhammad SAW selain atas perintahnya Allah SWT juga disebabkan oleh intimidasi dan serang yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy kepada umat muslim. Intimidasi terus dilakukan agar tidak ada satupun dari penduduk mekkah yang mengikuti ajaran Baginda Nabi Muhammad SAW.
Sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah, para sahabatnya telah lebih dulu berangkat secara bertahap. Lalu bagaimana penduduk Madinah menanggapi saat mendapati Rasulullah bersama beberapa penduduk Mekkah yang telah masuk Islam akan berhijrah ke kotanya. Berikut uraiannya.
Setibanya Nabi Muhammad SAW di Madinah, penduduk Madinah sangat bergembira menerima kedatangan Rasulullah bersama umat muslim lainnya. Dan penduduk Madinah pu tidak semuanya muslim, ada juga mereka yang bukan muslim tapi tetap merespon positif atas kedatangan Nabi terakhir tersebut. Berikut kami bedakan menjadi 3 kelompok penduduk Madinah yang berbahagia atas hijrahnya Nabi Muhammad SAW.
Kelompok pertama tentu saja kaum Anshar, yakni penduduk setempat yang sudah muslim dan me jadi penolong terhadap muslim dari Mekkah yang sudah berhijrah atau Rasulullah menyebutnya dengan sebutan kaum Muhajirun.
Kaum Anshar yang paling antusias dalam menyambut saudara seimannya. Hal tersebut terlihat dari perlakuan kaum Anshar yang langsung menawarkan tempat tinggalnya kepada Rasulullah dan kaum Muhajirun lainnya.
Untuk menjaga perasaan penduduk setempat, Rasulullah tidak memilih langsung rumah yang mereka tawarkan, akan tetapi membiarkan untanya yang memilih tempat yang ingin mereka tinggali. hal itu dijelaskan oleh Abdul Malik bin Hisyam dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyah.
“Itba bin Malik dan Abbas bin ‘Ubadah dari Bani Salim bin ‘Auf mendatangi Rasulullah saw dan mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, tinggallah di tempat kami dengan jumlah, pelengkapan dan kekuatan yang memadai.’ Rasulullah menjawab, ‘bebaskan jalannya karena sesungguhnya ia sedang diperintah.’ Maksudnya adalah membiarkan jalan untanya. Maka kalangan Bani Salim bin ‘Auf pun membiarkan unta tersebut melanjutkan perjalanannya.” (Abdul Malik bin Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyah, [Mesir: Maktabah Mushtofa al-Babi al-Halbi, 1955] juz 1, hal. 494)
Didalam kitab tersebut Ibnu Hisyam menjelaskan bahwa ada empat kabilah kaya raya di Madina yang menawarkan tempat tinggalnya untuk ditempati Nabi Muhammad SAW, diantaranya adalah Bani Bayaddhah, Bani Saídah, dan Bani al-harits dan Bani ‘Adiy bin Najjar. Namun unta yang ditugaskna untuk memilih tersebut, justru memilih tempat tinggal yang sangat sederhana yaitu rumah sahabat Abu Ayyub al-Anshari yang berasal dari kabilah Bani Najjar dari suku Khazraj.
Bukti respon baik penduduk Madinah lainnya adalah datang dari kalangan anak-anak dan wanit. Hal tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah.
Tatkala Rasulullah saw tiba di Madinah, para wanita dan anak-anak berseru, “Telah muncul bulan purnama di tengah-tengah kita, dari lembah Wada, wajiblah atas kita untuk bersyukur di mana segala seruan hanya kepada Allah.” (Al-Baihaqi, Dalailunnubuwwah, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1988] juz 2, hal. 507)
Seruan tersebut disenandungkan oleh kalangan anak-anak dan wanita yang sampai saat ini dengan qasidah Thalaal Badru ‘Alaina’. Adapun mereka yang menyanyikan bait tersebut adalah anak-anak yang pernah pergi ke Mekkah untuk berbaiat kepada Rasulullah, atau mereka yang telah masuk Islam berkat dakwah yang dibawa oleh sahabat Musháb bin Umair dan Ibnu Abi Maktum di Madinah.
Bukan hanya muslim yang bergembira menyambut hijrahnya Nabi Muhammad SAW, melainkan juga umat yahudi yang berada di Madinah mulai dari Bani Qainuqa, Bani Quraizhah, dan Bani Nadhr, meski sebelumnya sempat membenci kehadiran Baginda Nabi Muhammad SAW.
Hal tersebut ditandai dengan adanya perjanjian tertulis antara mereka dan umat Islam yang diabadikan dalam Piagam Madinah. Salah satu pendeta dari mereka bahkan memilih untuk masuk Islam yaitu Abdullah bin Salam, lainnya tetap dalam agam Yahudi.
Kedatangan Rasulullah memang membawa angin penyejuk bagi semua orang, sehingga kehadirannya pun dissambut hangat dan selalu dinantikan bagi para pecintanya di kota Madinah. Kini Madinah menjadi pusat dakwah terintegrasi yang menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia.
Baca Juga : Kisah Nabi Zakaria yang Sabar Menanti Keturunan