
Alfatihah.com – Istilah bidah sering muncul dalam pembicaraan seputar agama. Banyak orang menganggap semua hal baru itu bidah dan otomatis sesat. Padahal, islam sendiri memberikan panduan yang jelas tentang hal ini. Yuk, kita bahas apa itu bidah, bagaimana hukumnya, serta contohnya, agar kita tidak salah paham.
Secara bahasa, bidah berasal dari kata (بِدْعَةٌ) yang berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam konteks syariat, diartikan sebagai suatu perkara baru dalam agama yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an, Sunnah, atau pemahaman para sahabat. Jadi, yang dimaksud dalam istilah ini bukan sekadar sesuatu yang baru secara umum, tetapi yang berkaitan dengan urusan agama dan tidak ada tuntunannya dari Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad dengan tegas memperingatkan umatnya dari perbuatan satu ini:
“Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap yang diada-adakan adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Hadist diatas menjadi dasar bahwa agama islam sudah sempurna, sehingga menambah-nambahkan sesuatu dalam ibadah adalah bentuk penyimpangan.
Namun, penting untuk dipahami bahwa tidak semua hal baru otomatis bisa disebut dengan istilah ini. Para ulama membedakan antara hal baru dalam urusan dunia (seperti teknologi, metode pembelajaran, atau fasilitas masjid) dan hal baru dalam ibadah.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa hal ini terbagi menjadi dua yaitu hasanah (baik) dan sayyi’ah (buruk). Contohnya, mushaf Al-Qur’an yang dikumpulkan dalam satu buku, atau penggunaan pengeras suara saat adzan itu semua hal baru, tapi bukan sesuatu yang sesat, karena mendukung pelaksanaan ibadah, bukan menambah syariat baru.
Berikut beberapa contoh amalan yang sering dianggap bidah, diantaranya :
Doa setelah salat adalah sunnah dan dianjurkan. Tapi, ketika doa tertentu diwajibkan atau dijadikan rutin tanpa dasar dari Rasulullah, maka hal itu bisa termasuk bidah. Misalnya, setiap selesai salat wajib harus membaca doa panjang yang tidak bersumber dari hadis shahih dan dianggap “harus”.
Contohnya, mengklaim bahwa suatu bulan mulia dalam islam pasti harus diisi dengan ibadah tertentu seperti shalat khusus, padahal tidak ada hadist yang menyebutkan hal tersebut. Jika tidak ada dalil yang jelas dari Rasulullah SAW, maka penetapan ritual khusus seperti itu bisa masuk kategori bid’ah sayyi’ah.
Zikir memang sangat dianjurkan. Namun, jika dilakukan secara berjamaah dengan suara seragam dan terstruktur setelah shalat wajib, maka muncul perbedaan pendapat. Ada yang melihatnya sebagai bid’ah hasanah dalam tata cara zikir, karena tidak ada contoh dari Nabi dan sahabat. Tapi jika tujuannya untuk mengingatkan dan membiasakan dzikir, sebagian ulama menganggapnya boleh, selama tidak dianggap sebagai kewajiban.
Dari penjelasan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa jika ada amalan yang tidak dikenal di zaman Nabi, jangan langsung menuduh sesat. Islam mengajarkan adab dalam menilai sesuatu, dan para ulama pun berhati-hati dalam menyebut suatu amalan sebagai bidah. Memahami konsep ini sangat penting agar kita tidak salah kaprah dalam beragama.
Baca Juga : Perbedaan Bidah dan Maksiat dalam Islam: Jangan Sampai Keliru Memahaminya!