
Alfatihah.com – Ghibah atau menggunjing merupakan perbuatan yang sangat dikecam dalam islam. Dalam Al-Qur’an, ghibah digambarkan seperti memakan daging saudaranya sendiri yang telah mati (QS. Al-Hujurat ayat 12). Namun, tahukah kamu bahwa dalam situasi tertentu, ada beberapa kondisi ghibah yang diperbolehkan dalam islam dengan syarat dan batasan yang sangat ketat? Dalam artikel ini akan dibahas terkait beberapa kondisi ghibah yang diperbolehkan dalam islam. Simak dengan baik agar kita tidak salah paham dan terhindar dari dosa besar akibat lisan.
Secara sederhana, ghibah adalah membicarakan keburukan atau aib seseorang di belakangnya, meskipun yang dikatakan itu benar. Nabi SAW bersabda:
“Tahukah kalian apa itu ghibah? Para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Beliau bersabda: Engkau menyebutkan tentang saudaramu sesuatu yang ia benci. Ada yang bertanya: Bagaimana jika yang aku katakan itu benar? Beliau menjawab: Jika benar seperti yang kamu katakan, berarti kamu telah mengghibahinya. Jika tidak benar, berarti kamu telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)
Para ulama seperti Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa ada 6 keadaan ghibah yang diperbolehkan dalam islam, dan bahkan kadang dibutuhkan untuk kemaslahatan, yaitu:
Jika seseorang diperlakukan tidak adil, ia boleh menceritakan kezaliman yang dialaminya kepada pihak berwenang seperti hakim, ustadz, atau aparat hukum. Hal ini dilakukan dengan tujuan yaitu menuntut hak atau perlindungan, bukan menjatuhkan atau membalas dendam.
Saat mengalami masalah dan butuh solusi syar’i, diperbolehkan menyebut nama orang yang terlibat agar konteksnya jelas. Contohnya seperti:
“Suami saya sering bersikap kasar, apa yang harus saya lakukan menurut islam?”
Hal ini diperbolehkan selama tidak berlebihan dan hanya untuk kebutuhan hukum atau nasihat.
Jika seseorang diketahui menyebarkan ajaran sesat, melakukan penipuan, atau membahayakan orang lain, maka boleh diperingatkan agar orang lain tidak menjadi korban. Namun perlu diingat, ini harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan dengan niat menjaga umat, bukan karena iri atau ingin menjatuhkan.
Jika seseorang secara terang-terangan melakukan maksiat dan tidak malu menunjukkan perbuatannya, maka ia boleh disebut sebagai pelakunya. Hal ini bukan untuk mempermalukan, melainkan sebagai bentuk peringatan dan pelajaran bagi yang lain.
Kadang kala, seseorang dikenal dengan ciri tertentu seperti fisik atau kekurangan, dan itu digunakan hanya sebagai penunjuk, bukan menghina. Contohnya:
“Tolong panggil si Ahmad yang pincang.”
Jika ada cara lain yang lebih sopan, sebaiknya digunakan. Tapi dalam kondisi tertentu, ini bisa dimaafkan bila tidak ada niat merendahkan.
Saat ingin menikah, bekerja sama bisnis, atau mengambil keputusan penting, boleh menanyakan dan menyampaikan kepribadian asli seseorang termasuk kekurangannya. Contoh:
“Si Fulan pernah meninggalkan tanggung jawab dalam pekerjaan sebelumnya.”
Informasi ini harus jujur dan sesuai fakta, serta disampaikan hanya kepada yang berkepentingan.
Meskipun ada kondisi tertentu yang membolehkan ghibah, bukan berarti kita bebas melakukannya. Niat, konteks, dan batasan syariat harus dijaga. Ghibah yang diperbolehkan:
Itu dia 6 keadaan ghibah yang diperbolehkan dalam islam. Islam sangat menjaga kehormatan dan harga diri setiap Muslim. Ghibah tetap merupakan dosa besar kecuali dalam 6 keadaan tertentu yang sudah dijelaskan di atas. Itupun harus dilakukan dengan niat yang benar, tidak berlebihan, dan hanya pada batas kebutuhan. Menjaga lisan adalah bagian dari keimanan. Mari kita berhati-hati dalam berbicara, dan hanya berbicara jika memang bermanfaat.
Baca Juga: 5 Penghalang Terkabulnya Doa, Kenali dan Hindari!