Alfatihah.com – Kisah Qabil dan Habil adalah salah satu cerita paling terkenal dalam sejarah islam. Kisah kedua putra dari Nabi Adam ini diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai contoh konflik pertama antara manusia yang berujung pada tragedi besar. Dalam kisah ini, terdapat pelajaran penting mengenai sifat iri, kebencian, serta akibat dari kehilangan kendali atas emosi. Yuk, simak artikel ini untuk mengupas kisah Qabil dan Habil.
Nabi Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah dan diturunkan ke bumi bersama istrinya, Hawa. Dari pernikahan mereka, Allah mengaruniakan keturunan kepada Nabi Adam dan Hawa. Di antara anak-anak Nabi Adam, ada dua putra bernama Qabil dan Habil. Kedua saudara ini tumbuh menjadi dewasa dengan sifat dan karakter yang sangat berbeda. Habil dikenal sebagai sosok yang lembut hati, penuh rasa syukur, dan taat kepada Allah. Ia menjadi peternak yang berdedikasi dan dikenal sebagai sosok yang sabar. Sebaliknya, Qabil memiliki sifat yang lebih keras, cenderung kasar, dan pemarah. Ia bekerja sebagai petani, tetapi sifatnya yang keras sering membuatnya tidak puas dengan apa yang dimilikinya.
Konflik pada kisah Qabil dan Habil ini berawal dari perintah Allah SWT kepada mereka untuk mempersembahkan kurban. Allah ingin menguji keimanan dan ketulusan kedua putra Nabi Adam ini. Dalam kurban ini, mereka masing-masing diminta untuk mempersembahkan hasil terbaik dari pekerjaan mereka.
Habil, yang penuh keikhlasan dan kesadaran akan pentingnya menjalankan perintah Allah, mempersembahkan ternak terbaiknya sebagai kurban. Ia memilih kambing yang paling gemuk dan sehat sebagai bukti ketulusannya. Sebaliknya, Qabil merasa enggan dan hanya mempersembahkan sebagian hasil panennya yang kurang berkualitas. Ia tidak sepenuh hati dalam mempersembahkan kurban ini, bahkan menganggapnya sebagai tugas yang memberatkan. Allah SWT mengirimkan api untuk menyambar kurban sebagai petunjuk dan tanda bahwa Allah telah menerima kurban dari kedua putra Adam. Api itu menyambar kurban dari Habil. Kurban Habil diterima oleh Allah, sementara kurban Qabil ditolak.
Dalam Q.S Al-Ma’idah ayat 27, Allah berfirman :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
Artinya : “Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti akan membunuhmu.” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.”
Penolakan kurban ini menimbulkan rasa iri dan benci dalam hati Qabil. Ia merasa tersaingi oleh adiknya dan merasakan amarah yang mendalam. Alih-alih memperbaiki dirinya dan mempersembahkan kurban yang lebih baik di masa depan, Qabil justru semakin membiarkan rasa iri dan kebenciannya tumbuh.
Rasa iri dan benci Qabil terus memuncak hingga akhirnya ia tidak bisa mengendalikan emosinya. Dalam keadaan marah dan bimbang, Qabil membuat keputusan mengerikan, yaitu membunuh Habil. Ia dipengaruhi oleh setan yang membisikkan kejahatan dalam hatinya, membuat Qabil tega menghabisi nyawa saudaranya sendiri.
Setelah membunuh Habil, Qabil merasa sangat bingung dan takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap jenazah adiknya. Allah kemudian mengirim seekor burung gagak yang menggali tanah untuk menguburkan bangkai burung lainnya. Melalui gagak tersebut, Allah memberikan petunjuk kepada Qabil tentang bagaimana menguburkan jasad Habil. Saat itulah, Qabil merasakan penyesalan yang mendalam dan menyadari betapa besar dosanya.
Kisah Qabil dan Habil memberikan banyak pelajaran moral dan spiritual bagi umat manusia, di antaranya:
Dalam kisah Qabil dan Habil, rasa iri adalah awal dari bencana besar. Ketika seseorang merasa iri terhadap keberhasilan orang lain, ia berpotensi melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Dalam hal ini, Qabil membiarkan rasa irinya terhadap Habil tumbuh menjadi kebencian yang akhirnya berujung pada tragedi.
Ketidakmampuan Qabil untuk mengendalikan emosinya menjadi salah satu penyebab utama terjadinya pembunuhan tersebut. Dalam hidup, mengendalikan emosi adalah kunci agar kita tidak melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Allah menerima kurban dari Habil karena ia melakukannya dengan penuh keikhlasan. Sebaliknya, Qabil yang hanya melakukan kurban setengah hati justru ditolak oleh Allah. Hal ini mengajarkan pentingnya ketulusan dalam beribadah, agar setiap amal yang kita lakukan diterima oleh-Nya.
Baca Juga : Meneladani Kisah Abu Bakar dan Umar bin Khattab : Pemimpin Harus Siap Dikritik