Hukum Bersentuhan dengan Anak Angkat atau Anak Adopsi

Alfatihah.com – Di Indonesia hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat diakui secara hukum. Namun, yang masih sering menjadi permasalahan adalah nasab dan bagaimana sikap anak tersebut kepada orang tua angkatnya yang berbeda jenis kelamin. Apakah hukum bersentuhan dengan anak angkat atau adopsi? Yuk, simak artikel berikut!

Pengangkatan anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada Pasal 1 ayat 9 disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atar perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Penjelasan anak angkat juga tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 171 huruf H, bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

Hukum Bersentuhan dengan Anak Angkat

Hukum bersentuhan dengan anak angkat diperbolehkan jika masih mahram. Adapun dalam Islam, adopsi anak angkat tidak menghilangkan nasab anak tersebut, karena tetap memiliki nasab dari orang tua kandungnya. Seperti firman Allah dalam Al-quran berikut, 

وَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ   

Artinya, “Dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS Al-Ahzab: 4).

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa dalam Islam nasab anak angkat tidak sama dengan  anak kandung. Karena anak angkat tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya, maka anak tersebut tidak dapat menggunakan nama orang tua angkatnya juga tidak bisa mewarisi harta orang tua angkatnya. 

Selain itu, Allah juga memerintahkan agar anak angkat dinasabkan kepada bapak kandungnya. Hal ini berarti bahwa anak angkat tetap memiliki hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Al Muzhaffar As-Sam’ani, dalam kitab Tafsir As-Sam’ani:

فِي الْآيَة نسخ التبني، وَقد كَانَ الرجل فِي الْجَاهِلِيَّة يتبنى الرجل ويجعله ابْنا لَهُ مثل الابْن الْمَوْلُود، وعَلى ذَلِك تبنى رَسُول الله زيد بن حَارِثَة، فنسخ الله تَعَالَى ذَلِك   

Artinya, “Dalam ayat tersebut, Allah menghapuskan hukum adopsi (melekatkan nasab anak pada orang tua angkat). Pada masa Jahiliyah, seorang laki-laki dapat mengadopsi seorang anak laki-laki dan menjadikannya anak kandungnya sendiri, sama seperti anak kandungnya sendiri. Rasulullah saw juga pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah. Namun, Allah swt menghapuskan hukum tersebut. (Abu Al Muzhaffar As-Sam’ani, Tafsir As-Sam’ani, [Riyadh, Darul Wathan: 1997], jilid II, halaman 258.   

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak angkat tetaplah sebagai anak dari orang yang melahirkannya, bukan dari orang yang mengangkatnya sebagai anak. Hal ini karena anak angkat tidak memiliki hubungan darah, hak waris, dan tidak memiliki nasab yang tersambung.

Terdapat juga hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, di mana ia menceritakan bahwa pada masa awal Islam, orang-orang biasa memanggil Zaid bin Haritsah dengan nama Zaid bin Muhammad, karena ia adalah anak angkat Nabi Muhammad. Namun, setelah turunnya ayat Al-quran Al-Ahzab ayat 5, orang-orang mulai memanggil Zaid dengan nama aslinya, yaitu Zaid bin Haritsah. Sebagaimana hadits Nabi saw berikut:

   عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ   

Artinya, “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Dulu kami memanggil Zaid bin Haritsah, budak Rasulullah saw, dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun ayat Al-quran yang artinya: “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka.  Setelah ayat itu turun, maka kami pun memanggilnya dengan nama Zaid bin Haritsah.”   

Dengan demikian, dalam Islam anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya. Karena itu, mereka tidak dianggap sebagai mahram dan hukum bersentuhan dengan anak angkat tidak diperbolehkan. Mahram adalah orang-orang yang tidak boleh dinikahi, termasuk ibu, ayah, saudara kandung, dan seterusnya.  

Berdasarkan hal tersebut, hukum bersentuhan dengan anak angkat dalam Islam adalah seyogyanya dihindari karena bukan mahram, terlebih jika sudah mengarah kepada fitnah. Hukum bersentuhan dengan anak angkat diperbolehkan jika masih mahram. para ulama juga memberikan solusi atas permasalahan hukum bersentuhan dengan anak angkat.

Baca Juga: Ini Dia Hukum Bersentuhan dengan Anak Tiri!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kamu harus baca
Chat WhatsApp
WhatsApp