Alfatihah.com – Permasalahan hukum dalam Islam terus berkembang mengikuti masalah-masalah yang dialami oleh masyarakat. Seperti hukum bersentuhan dengan anak tiri, masih banyak yang mempertanyakan permasalahan tersebut. Lalu bagaimana hukum bersentuhan dengan anak tiri dalam Islam? Yuk, simak penjelasannya di bawah ini!
Islam sangat menjaga umatnya dalam menjaga nilai hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia. Nilai-nilai kemanusiaan juga sangat dijaga, agar tidak ada yang saling terzalimi karena merasa diserobot haknya dengan sesama.
Hukum syariat yang telah diatur tidak lain untuk kemaslahatan umat Islam dalam menghadapi permasalahan yang terjadi. Para ulama menyimpulkan beberapa undang-undang dalam Al-quran dan hadits menjadi lima tujuan syariah yang dikenal dengan maqâshdus syarîah, isinya adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.
Salah satu aturan agama untuk menjaga keturunan terdapat dalam aturan pernikahan dan larangan berbuat zina. Hal tersebut menjaga keturunan antarmanusia supaya terjaga dengan baik, tidak saling berbenturan nasab yang tidak jelas arahnya.
Terkait pelarangan zina, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’: 32)
Pada ayat di atas, selain zina yang dilarang, juga meliputi hal-hal yang mendekat menuju zina seperti melihat wanita lain tidak sesuai ketentuan syariat, bersentuhan, berduaan dan lain sebagainya. Bersentuhan lawan jenis yang tidak mahram, selain hukumnya haram juga membatalkan wudhu.
Lalu bagaimana hukum bersentuhan dengan anak tiri, seperti anak laki-laki bersentuhan dengan ibu tiri atau istri baru dari ayah kandungnya? Bagaimana juga hukum anak perempuan bersentuhan dengan ayah tirinya?
Mengutip dari nu.or.id dalam kitab Hâsyiyatân karangan Imam Syihabudin al-Qulyubi dan Umairah menyebutkan, anak tiri perempuan dapat membatalkan wudhu apabila ibu anak tiri tersebut belum sampai disetubuhi oleh ayahnya yang baru. Apabila sudah dijima’ oleh ayahnya yang baru, maka hukum bersentuhan dengan anak tiri perempuannya sudah tidak membatalkan wudhu.
Hubungan mereka sudah menjadi mahram selamanya (alâ at-ta’bid). Jadi selain sudah tidak membatalkan wudhu, ayah tersebut tidak boleh menikahi anak tirinya walaupun ibunya sudah diceraikan atau wafat di kemudian hari.
قَوْلُهُ : (مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا إلَخْ) فَتَنْقُضُ بِنْتُ الزَّوْجَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ بِأُمِّهَا ، وَتَنْقُضُ أُخْتُهَا وَعَمَّتُهَا مُطْلَقًا
Artinya: “Penjelasan redaksi “orang yang haram dinikah…dst“: membatalkan wudhu anak perempuan dari istri yang belum disetubuhi. Dan yang membatalkan wudlu juga adalah saudari dari istri beserta bibinya secara mutlak (tanpa mempertimbangkan sudah disetubuhi atau belum). (Syihabuddin Ahmad al-Qulyubi dan Umairah, Hâsyiyatân, Maktabah al-Babi, Alepo, 1956, cetakan ke-3, juz 1, halaman 32)
Dalam keterangan kitab tersebut juga disebutkan, berbeda masalah jika dengan saudara perempuan dari istri ataupun bibi dari istri. Walaupun istrinya sudah disetubuhi, kedua jenis saudari tersebut tetap membatalkan wudhu secara mutlak. Bedanya, jika anak tiri tidak boleh dinikahi selamanya, sedangkan kedua jenis saudari ini boleh dinikahi apabila istrinya diceraikan atau meninggal dunia.
Seperti Sayyidina Utsman ibn Affan yang menikahi putri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bernama Ruqayyah, lalu ketika wafat, Utsman menikahi putri Rasul yang lain bernama Ummu Kultsum.
Baca Juga: Berjamaah atau Cukup Shalat di Rumah bagi Seorang Wanita? Lebih Baik Mana?