Kandungan Surat Al-Ma’un, Makna dan Hikmah Sosial di dalamnya

Alfatihah.com – Al-quran diturunkan dengan tujuan menjadi pedoman dan petunjuk hidup bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan menggali makna dan hikmah sosial dalam kandungan surat Al-ma’un, menjadikan kita pribadi yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Kandungan surat Al-ma’un dapat menjadi salah satu petunjuk bagi kita dalam menjalani kehidupan sosial. Apa saja makna dan hikmah dalam kandungan surat Al-ma’un yang bisa menjadi pelajaran bagi kita? Yuk, simak penjelasannya!

Sebagai umat muslim tentu kita tahu, bahwa Al-qur’an berfungsi sebagai petunjuk manusia menuju jalan yang benar dan diridhoi oleh Allah. Selain itu, Al-qur’an juga memuat penjelasan tentang berbagai persoalan karena sesungguhnya al-Qur’an merupakan sumber solusi bagi setiap permasalahan hidup manusia. Salah satunya yaitu makna dan hikmah sosial dalam kandungan surat al-Ma’un ayat 1-7,


أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ [١٠٧:١] فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ [١٠٧:٢] وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ [١٠٧:٣] فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ [١٠٧:٤] الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ [١٠٧:٥] الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ [١٠٧:٦] وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ [١٠٧:٧]

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya. Orang-orang yang berbuat riya’. Dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna.” (Qs. al-Ma’un: 1-7).

Tujuh ayat surat Al-ma’un ini menjelaskan tentang kriteria orang-orang yang Allah sebut sebagai pendusta agama. Dimana mereka adalah orang yang menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, orang yang lalai dalam shalat, orang yang riya’, dan orang yang tidak mau tolong-menolong.

Makna dan Hikmah Sosial dalam Kandungan Surat Al-Ma’un

Makna kata Al-ma’un sendiri berarti segala sesuatu yang bermanfaat berupa hal kecil yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, baik itu berupa perbuatan maupun pemberian kecil. Apabila diperluas, makna Al-ma’un berarti bantuan atau pertolongan dalam setiap kesulitan. Sehingga surat ini banyak menggambarkan beberapa hal yang berkaitan dengan kepedulian sosial.

Pada kandungan surat Al-ma’un ayat kedua disebutkan, “yaitu orang yang menghardik anak yatim.” Allah menyebut para penghardik anak yatim sebagai pendusta agama karena mereka telah menghindarkan hak anak yatim dengan enggan memberi makan mereka, enggan menyantuni, bahkan berkata kasar dan menzalimi. Padahal dalam agama Islam anak yatim mendapat kedudukan yang mulia, sampai-sampai Allah menyebutkannya sebanyak 23 kali pada beberapa konteks dalam Al-quran. Selain itu, dalam hadits juga banyak dibahas tentang kedudukan dan keutamaan menyantuni anak yatim, seperti sabda nabi:

«أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هَكَذَا». وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini.” Kemudian Nabi mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya serta agak merenggangkan keduanya. (HR. Bukhari).

Kemudian makna kandungan surat Al-ma’un pada ayat ketiga disebutkan “dan tidak memberi makan orang miskin.” Golongan pendusta agama selain orang yang menghardik anak yatim, yaitu orang yang enggan menginfakkan sebagian hartanya untuk membantu fakir miskin. Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya bukan untuk dinikmati  sendiri, tapi di dalamnya terdapat bagian kaum fakir miskin yang harus disalurkan.

Pada kandungan surat Al-ma’un ayat keempat dan kelima artinya “maka, celakalah bagi orang-orang yang sholat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” Menurut Ibnu Abbas, ayat tersebut menjelaskan tentang orang-orang munafik yang mengerjakan shalat secara terang-terangan. Sedangkan ketika sendiri mereka tidak mengerjakan shalat, sehingga di ayat keempat Allah menyebut “orang-orang yang shalat.” Karena mereka mempunyai kewajiban melakukan shalat namun, mereka seringkali melalaikannya. 

Ada pula yang memaknai mengerjakan shalat namun diakhirkan, bahkan sampai keluar waktunya. Itu menjadi kebiasaan sehari-hari atau shalat tetapi tidak terpenuhi rukun-rukunnya, tidak khusyuk sehingga tidak dapat merenungkan makna shalat yang dikerjakannya. Mereka itulah orang yang Allah sebut sebagai pendusta agama.

Makna kandungan surat Al-ma’un pada ayat keenam yang artinya “Orang-orang yang berbuat riya.” yaitu orang-orang yang melakukan sesuatu bukan karena Allah, namun agar mendapat pujian dari orang-orang disekitarnya. Kemudian pada ayat terakhir “Dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna.”

Dari beberapa penafsiran terkait kandungan surat al-Ma’un ayat 1-7 di atas, dapat disimpulkan bahwa Surat ini menggambarkan beberapa hal terkait kepedulian sosial. Diawali dengan pertanyaan “siapakah pendusta agama?” Sesungguhnya melalui ayat ini Allah sedang memperingatkan hamba-Nya terkait beberapa perilaku tercela yang menjerumuskan pelakunya menjadi pendusta agama.

Allah juga tengah menyadarkan kita bahwa ibadah kepada Allah tidak ada artinya apabila tidak direfleksikan dalam wujud kesadaran kemanusiaan. Karena kebaikan sesungguhnya merupakan perpaduan antara keimanan dan praktik gerakan. Maka teologi al-Ma’un dapat didefinisikan sebagai pemikiran berkenaan dengan kepedulian sosial terhadap masyarakat, seperti menyantuni anak yatim dan menolong fakir miskin.

Surat al-Ma’un juga mengandung kritikan kepada perilaku individualisme, hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli akan keadaan sekitar. Individualisme bertentangan dengan nilai Islam. Dalam hidup bermasyarakat, Islam mengajarkan agar hidup berdampingan secara harmonis, saling menghargai, toleran dan tolong menolong. Hal ini sejalan dengan firman Allah:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa. Dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. (Qs. Al-Maidah: 2).
Gaya hidup individualis yang berujung pada materialistis kini mulai merebak di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk kesenangan pribadi dan keluarga.

Mereka bakhil, enggan menyisihkan dan menyalurkan hartanya kepada orang-orang lemah yang butuh uluran tangan. Padahal kebahagiaan yang didapat dar gaya hidup individualis hanyalah sebuah kebahagiaan semu. Sebaliknya membelanjakan harta di jalan Allah dengan sedekah atau infaq dengan tujuan meringankan beban orang lain, inilah hakikat kebahagiaan sesungguhnya bahkan Allah dan Rasul-Nya menjanjikan pahala yang besar bagi mereka. Nabi Muhammad bersabda:


« الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak boleh mendzaliminya dan tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain. Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan senantiasa menolongnya. Barangsiapa meringankan kesulitan seorang muslim maka Allah akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di Hari Kiamat. Dan barangsiapa menutup aib seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada Hari Kiamat.” (HR. Bukhari).

Baca Juga: Menggali Makna yang Terkandung dalam Surat Al-alaq Ayat 1-5

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kamu harus baca
Chat WhatsApp
WhatsApp